Arsip untuk November, 2009

Temaram Jingga [part 1.]

Posted in Uncategorized on November 26, 2009 by emosidjiwa

“Damn..!!”

Jingga langsung saja memaki dan membanting pintu sesampainya di kamar flatnya. Dengan kesal ia membanting ranselnya keatas tempat tidur yang berantakan itu. Dan dengan segera ia menuju kamar mandi untuk mengisi penuh bak plastik yang biasa digunakannya untuk menampung air. Setelah ia melepaskan seluruh pakaiannya, dan bak plastik besar itu terisi penuh,langsung saja ia mengangkat bak plastik itu dan menumpahkan seluruh isinya kebadannya. Di isi kembali bak plastic itu hingga penuh, dan kembali ia tumpahkan isinya kebadannya.

Kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini memang membuatnya memiliki hobby baru : mandi dengan menyiramkan seluruh isi bak ke tubuhnya. Dengan mengalirnya air ditubuhnya, Jingga berharap air itu pun meluruhkan semua masalah dan kekesalan hatinya. Dan hari ini bahkan lebih buruk dari hari-hari sebelumnya.

Setelah puas membasahi tubuhnya, Jingga langsung menuju lemari untuk mencari pakaian bersih dan memakainya. Setelah mengganti baju dengan pakaian bersih, ia pun beranjak ke tempat tidurnya dan meraih ranselnya. Dikeluarkan notebook usangnya dan memindahkannya ke meja di sudut flatnya.

Flat yang ia tempati berukuran 4×3 meter dan jangan ditanya bagaimana berantakannya. Ruangan sempit itu juga masih harus berdesakkan dengan kamar mandi mini yang hanya terdapat satu bak plastic besar dibawah satu-satunya keran dan kloset jongkok diujungnya. Perabotan di kamar itu pun tak ingin kalah berebutan tempat. Tempat tidur kecil yang berada disudut ruangan yang bersebrangan dengan pintu masuk, dan sebuah meja kecil  setinggi pinggang diujung tempat tidur itu. Sedangkan lemari pakaian terletak didepan kamar mandi yang menempati sudut lain dari kamar itu. Meja kecil diujung tempat tidur itu sebenarnya merupakan meja yang dipergunakan untuk bekerja. Namun karena tidak ada tempat lagi untuk menaruh bangku dikamar itu maka JIngga harus duduk diujung tempat tidurnya jika ingin bekerja di kamarnya.

Setelah menyalakan notebook usangnya, Jingga kembali meraih ranselnya dan mencari-cari sketch book miliknya. Namun buku itu tidak ada didalam ranselnya, atau pun di meja kerjanya.

“Sial, pasti ketinggalan di kantor..!” gumamnya.

Terpaksa besok aku harus kembali ke kantor sialan itu. Mungkin sekalian saja aku menyerahkan surat pengunduran diriku.

***

Aku hanya mampu menatap nanar kearah meja yang berantakan itu. Aku benar-benar tak menyangka jika Jingga akan bereaksi seperti itu. Ya, aku memang sangat mengetahui bagaimana ia sangat menginginkan proyek ini. Sering kali kulihat dia bekerja sampai larut malam demi meyelesaikan desain animasi ini. Bahkan ketika pitching dengan vendor yang akan menggunakan jasa kami pun wajahnya masih mengguratkan kelelahan.

“Pak… Pak Yudha… Ini buku sketsanya mba Jingga ketinggalan.” Suara Samsul, salah satu office boy yang kusuruh untuk merapihkan meja Jingga mengagetkanku.

“oh taruh saja dimeja saya.” Jawabku singkat.

Aku hanya memperhatikan bahwa sesungguhnya meja yang berantakan itu tak jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Hanya saja lebih…. Berantakan.

Jingga Trikencana sebetulnya merupakan salah seorang desainer terbaik di perusahaan ini. Hanya saja dia pribadi yang teledor, berantakan, dan seolah tak memperdulikan apa-apa. Bahkan untuk sekedar memperhatikan penampilannya sebagai wanita. Setiap datang ke kantor, ia hanya menggunakan jeans lusuh yang kelihatannya tidak pernah dicuci selama berbulan-bulan dan kaos oblong yang sudah pudar warnanya. Dan aku juga tak pernah melihat wajahnya diolesi bedak atau sekedar pelembab, layaknya wanita-wanita dewasa lainnya.

Namun secara pribadi Jingga merupakan sosok yang ceria. Seperti matahari pagi yang selalu membagikan sinarnya keseluruh dunia yang dirunding malam. Ia selalu datang kekantor dengan senyuman lebarnya yang khas dan selalu menyapa setiap orang yang di temuinya sepanjang koridor sampai ke mejanya. Bahkan disela-sela pekerjaannya yang menumpuk ia tak segan untuk bercanda dengan setiap orang yang melewati mejanya. Bagiku ia seperti matahari pagi yang membagikan semburat cahaya kegembiraan bagi semua orang.

Tetapi sore ini, setelah rapat penilaian, aku melihat matahari itu berubah temaram. Bahkan ia melihatkan badai ganas yang akan membanjir seketika. Belum pernah kulihat wajah Jingga semarah itu. Ia merasa seperti di khianati oleh dirinya sendiri.

Dan tanpa sepatah katapun ia langsung meninggalkan ruang rapat itu dengan muka yang memerah karena menahan amarahnya. Sejak itu yang kutemui hanyalah meja kerjanya yang berantakan dengan dokumen-dokumen yang sepertinya habis disapu badai kemarahan Jingga.

***

 

//ED//